Apapun yang digunakan orang Jawa biasanya memiliki sebuah filosofi termasuk tentang filosofi jarik. Jarik sendiri merupakan sebuah istilah untuk menyebut kain batik yang tersedia dalam berbagai macam corak.
Kain jarik ini biasa digunakan bersama dengan kebaya untuk menunjang berbusana dari jaman dulu. Tidak hanya dipakai untuk berbusana saja namun kain jarik kerap kali digunakan untuk menggendong bayi.
Kain Jarik dan Filosofinya
Ada perbedaan menarik antara kain jarik dengan kain lainnya terutama pada kehidupan masyarakat Jawa.
Pertama jarik dapat digunakan sebagai simbol tingkatan hidup serta status sosial seseorang dilihat dari motifnya.
Kedua dapat dijadikan sebagai gambaran dari mana seseorang itu berasal karena setiap daerah memiliki ciri khas dan motif berbeda.
Meskipun tidak secara resmi digunakan untuk menunjukkan status sosial seseorang namun sering digunakan untuk semua orang. Termasuk rakyat biasa juga menggunakan jarik menjadi bagian busana sehari-hari.
Ternyata ada makna tersendiri dari jarik tersebut yang sangat erat kaitannya dengan nasihat untuk kehidupan.
Makna Filosofi Kain Jarik
Sejarah kain jarik yang tertulis dalam buku Islam Kejawen karya M. Hariwijaya merupakan sebuah kain panjang yang digunakan untuk menutup tubuh sepanjang kaki.
Jarik sebenarnya memiliki makna sederhana yaitu aja gampang serik yang artinya menjadi orang jangan suka menjadi iri terhadap orang lain. Begitu juga ketika menghadapi masalah harus berhati-hati dan tidak boleh grusa grusu.
Jarik digunakan dengan cara diwiru bagian ujungnya artinya wiru yaitu wiwiren aja nganti kleru. Artinya dalam segala hal harus terjadi demikian sehingga dapat membuat suasana menjadi harmonis.
Ketika menggunakan jarik dengan ingatan ojo gampang serik mengingatkan untuk membuang sifat iri dengki. Makna jarik tersebut membuat orang-orang Jawa pada jaman dulu memiliki sifat yang sangat lemah lembut dan legowo.
Tidak hanya lembut dalam bersikap namun juga lembut dari tutur kata sehingga tidak menyakiti sesama. Mungkin Anda bisa membedakan bagaimana wibawa seseorang ketika menggunakan jarik dibandingkan pakaian pada umumnya.
Fakta Lain Tentang Motif Kain Jarik
Perlu diketahui jarik Jawa memiliki motif yang sangat beragam dan digunakan sesuai dengan tujuan pemakaian. Ada beberapa jenis motif jarik yang memiliki pakem penggunaan untuk upacara pernikahan, menjelang kelahiran serta kematian.
Untuk rangkaian upacara pernikahan memakai adat Jawa ada banyak motif batik yang akan digunakan. Dari acara siraman sampai akad menggunakan motif berbeda-beda dan tidak boleh asal pakai saja.
Pada acara siraman menggunakan batik dengan motif grompol dimaksudkan dengan harapan diberikan rejeki berlimpah.
Ketika midodareni menggunakan motif truntum yang memiliki arti siap dituntun dan motif ini diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk, Selir dari Pakubuwana III.
Mempelai laki-laki akan menggunakan motif wahyu tumurun dengan makna adanya pengharapan datangnya wahyu Tuhan.
Pada saat akad nikah mempelai dapat memilih salah satu dari 3 pilihan motif yaitu sidomukti, sidoluhur dan juga sidoasih. Sido artinya menjadi, mukti artinya kemakmuran, luhur artinya mulia dan asih artinya dicintai.
Selama prosesi panggih dan resepsi bisa memilih motif semen ageng yang dipadukan dengan busana kain dodot pada paes ageng.
Untuk upacara menjelang kelahiran bisa memilih beberapa motif yaitu wahyu tumurun, motif cakar, motif ksatria, motif sidomukti dan motif babon angrem.
Khusus untuk upacara kematian menggunakan motif batik slobog sebagai lambang duka cita. Maknanya agar arwah yang meninggal diberikan kelonggaran serta ampunan dan dilapangkan kuburnya.
Filosofi Kain Surjan yang penuh dengan makna
Filosofi jarik memiliki makna yang sangat mendalam dan begitu erat kaitannya tentang kehidupan terutama masyarakat Jawa.